Jika Anda percaya sistem peradilan pidana (SPP) beserta lembaga independen antikorupsi maupun satu undang-undang yang dianggap sebagai sapu jagat—Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang berusia lebih dari 20 tahun—mampu mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi maka Anda mesti berpikir ulang bahwa instrumen apa yang memungkinkan (possibility) mereka untuk dapat melakukan pencegahan?

Selanjutnya, dapat ditelusuri bahwa SPP sangat sering diberi tahu—jika tidak ingin mengatakan diajari—untuk menghukum bukan untuk mencegah. Anda tidak percaya? Anda dapat periksa kurikulum Fakultas Hukum dan jika Anda beruntung, Anda dapat peroleh bahan pendidikan dan pelatihan resmi serupa dari insider.

Dalam pada itu, bahwa sistem peradilan pidana sendiri memungkinkan—dipahami/dimaknai oleh Pangaribuan (2016) & Burke (2012) sebagai “politik hukum” dan “proses” sehingga perlu mempertimbangkan konteks kebijakan (context policy)—membangun instrumen legal, sosial maupun budaya untuk pencegahan seperti mendudukan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation) dan mendorong adanya forum debat antar pemangku kepentingan (stakeholder).

Sehubungan dengan uraian di atas, tulisan ini hendak menitikberatkan pada dua hal yaitu justifikasi kebijakan partisipasi bermakna dalam sistem peradilan pidana untuk pencegahan tindak pidana korupsi dan forum debat bagi pemangku kepentingan antara lain pembentuk undang-undang, masyarakat (akademisi, seniman, pers dan penyandang disabilitas) serta penegak hukum dan pelembagaannya.

“Partisipasi Bermakna” Dalam Sistem Peradilan Pidana

Pada kesempatan yang lain bahwa penulis menyoal demokratisasi sistem peradilan pidana dan model-model sistem peradilan pidana (SPP) yakni “Bentrok FPI Versus Polisi, Momentum Perbaikan Proses Penegakan Hukum Pidana?” yang menyoal model SPP antara lain prinsip partisipasi dan deliberatif. Senada, partisipasi tersebut penulis bagi menjadi 2 (dua) yakni partisipasi langsung (justice collaborator) dan partisipasi tak langsung seperti amicus curiae (friends of court) yang selengkapnya dapat ditelusuri dalam “Demokratisasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia.”

Sehubungan dengan di atas, menurut McConkie, Jr (2020) dalam artikel berjudul “Criminal Justice Citizenship” bahwa SPP berbasis warga negara menghendaki antara lain prinsip partisipatif dan deliberatif yang bermaksud untuk berbagi standar etika dan diskusi dua arah antara penegak hukum dan tersangka. Dalam masyarakat Amerika, prinsip-prinsip tersebut compatible dengan kultur hukum mereka.

Dalam hal politik hukum antikorupsi di Indonesia bahwa yang terjadi justru pelanggaran prinsip partisipasi bermakna dalam formulasi kebijakan antikorupsi. Dikatakan demikian, berikut argumentasinya.

Pertama, konsep SPP sebagai politik hukum menambatkan aktor sebagai sub-sistem SPP yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan atau boleh juga aktor lain (KPK) untuk berperan sebagai penegak hukum. Sedangkan secara yuridis, konsep SPP berdasarkan prinsip legalitas dipahami sebagai apa yang boleh dilakukan (kewenangan) penegak hukum sebagaimana menurut Harmon dan Mayer (2014) bahwa prinsip legalitas adalah dasar organsasi publik.

Oleh karenanya, melalui prinsip legalitas seharusnya perlu perluasan partisipasi bermakna dari kelompok masyarakat (akademisi, seniman, pers dan penyandang disabilitas) agar diakui secara hukum. Pada titik ini, diharapkan dua kekuataan sosial antara kelompok penegak hukum dan masyarakat dapat berdiskusi demi perwujudan prinsip deliberatif.

Kedua, memperhatikan konsep SPP berbasis warga negara di atas bahwa justifikasi partisipasi bermakna menghendaki SPP hanya legal dan masuk akal (legimate) sebagai agen jika prinsipal yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dapat melakukan tindakan intervensi positif atas kinerja penegak hukum.

Misalnya, di Indonesia SPP diawasi secara kemitraan oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bersifat prosedural belaka untuk menciptakan efek check and balance—ilusi demokratis—sehingga rakyat hanya berperan sebagai penonton karena keberadaan mereka yang diwakilkan (sistem representatif) dan juga seringkali pers mewartakan ketegangan perdebatan dalam rapat sebatas untuk pemanis bibir.

Di sisi lain, sistem pengawasan SPP yang berlapis dan banyak dalam arti vertikal maupun horizontal namun tidak cukup efektif oleh karena “para pengawas” bekerja dengan proses yang mirip yakni nampak populer setelah adanya pelanggaran prosedur oleh penegak hukum.

Forum Debat Bagi Kelompok Kepentingan dan Pengawasan Berbasis Kerakyatan

Politik hukum antikorupsi di Indonesia justru secara brutal melawan kehendak rakyat seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak sesuai konteks dan konsep yang benar—isu kewenangan Dewan Pengawas (DEWAS) KPK bukan revisi UU PTPK.

Meskipun Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai “keranjang sampah” bagi masyarakat yang protes atas produk kebijakan hukum yang curang bahwa penulis membayangkan kekuatan sosial dari masyarakat dapat dilembagakan untuk pencegahan tindak pidana korupsi.

Sehubungan dengan itu, SPP sebagai “politik hukum” dan “proses” mesti mempertimbangkan konteks kebijakan (context policy) untuk melawan tindak pidana korupsi dengan argumentasi sebagai berikut.

Pertama, SPP sebagai politik hukum antikorupsi mesti memilih pendekatan bottom-up model yang memiliki asumsi bahwa masalah kebijakan antikorupsi menurut pengalaman-pengalaman masyarakat bukan pemahaman pembentuk undang-undang—top-down model (Matland, 1995).

Kedua, prinsip partisipasi bermakna secara yuridis yakni kesatu: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), kedua: hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan ketiga: hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Konsep partisipasi bermakna, umumnya dipahami dalam proses formulasi kebijakan pada level legislatif namun pendapat McConkie, Jr membatalkan pemahaman publik Indonesia atas konsep ini dimana generalisasi adalah keniscayaan karena ia lahir dari teori kedaulatan rakyat.

Ketiga, mempertimbangkan prinsip partisipasi bermakna di atas bahwa syarat kemungkinan bagi adanya prinsip deliberatif dalam SPP sebagai “proses” dan mengandung interrelation dimana rekognisi yuridis atas partisipasi bermakna sebagai proses itu sendiri adalah episentrum dari teori kedaulatan rakyat.

Bila pencegahan atau penindakan tindak pidana korupsi dilakukan tanpa proses konfirmasi dan verifikasi masyarakat, maka akan ada akibat hukum. Pada titik ini, pemangku kepentingan perlu mencari bentuk formal yang tepat untuk menyeimbangkan kekuatan sosial masing-masing kelompok di hadapan hukum.

Keempat, proses partisipasi bermakna dalam SPP—konfirmasi dan verifikasi—bukan berarti cawe-cawe dan overlapping dalam penegakan hukum tetapi ada forum debat dan dialog bagi masyarakat jika penegak hukum gagal melakukan pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi.

Misalnya, rekomendasi (kewenangan) recall oleh masyarakat terhadap kepala/pemimpin di setiap subsistem SPP yang dikuatkan oleh penetapan pengadilan tindak pidana korupsi dan wajib dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman meningkat untuk turut mengawasi pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi dan bukan sebagai “keranjang sampah.”

Kelima atau yang terakhir bahwa pemerintah maupun DPR tidak perlu khawatir akan ada free rider atau kepentingan rakyat ditunggangi dalam proses SPP untuk pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana tersebut di atas karena hanya kekuasaan formal secara signifikan mampu membatalkan proses atau memanipulasi proses SPP itu sendiri.

Disisi yang lain, proses SPP dapat terhambat sepanjang masyarakat tidak memiliki kesadaran atas pengetahuan modern seperti tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang terhormat—ulama, pembesar maupun Presiden—tetapi juga perilaku individu dan/atau masyarakat terhadap birokrasi modern dan penegakan hukum.

Referensi buku:

Burke, Roger Hopkins. (2012). Criminal Justice Theory: An Introduction. Routledge.

Harmon, Michael M. & Mayer, Richard T. Teori Organisasi Publik Untuk Administrasi Publik. Kreasi Wacana.

Pangaribuan, Luhut M. P. (2016). Catatan Hukum: Hakim, Pengadilan dan Advokat. Pustaka Kemang.

Referensi jurnal:

Matland, R.E. (1995). Synthezing the implementation literature: The ambiguity-conflict model of policy implementation. Journal of Public Administration Research and Theory, 5 (2), 145-174, https://doi.org/10.1093/oxfordjournals.jpart.a037242   

McConkie, Jr, Daniel S. (2020). Criminal Justice Citizenship. Florida Law Review.

Referensi laman:

https://kumparan.com/chessa-a-j-purnomo/bentrok-fpi-versus-polisi-momentum-perbaikan-proses-penegakan-hukum-pidana-1uwREnsgUoU/4

https://kumparan.com/chessa-a-j-purnomo/demokratisasi-sistem-peradilan-pidana-indonesia-1znN4Fbyzta/full

Sumber ilustrasi: https://www.damianoslaw.com/

https://pshk.or.id/publikasi/dpr-gagal-memahami-partisipasi-publik-bermakna-dalam-penyusunan-rkuhp