Menyikapi tantangan dalam memberantas korupsi di Indonesia, penulis ingin memulai dengan lantunan syukur kepada Tuhan bahwa agenda pemberantasan korupsi terus berjalan dan dikawal oleh berbagai lapisan masyarakat. Kemudian, berbagai brainstorming berpotensi menjadi aksi baru. Berarti, kesempatan masih terbuka untuk mengetengahkan metode-metode yang selanjutnya potensial terkonversi menjadi amal jariyah intelektual.
Salah satu permasalahan yang perlu segera dikebut penyelesaiannya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah belum terbentuknya konsensus nasional. Sebuah satunya perasaan, kesepakatan dan kebulatan suara dari pimpinan lembaga-lembaga negara.
Mengapa demikian? Memang, jika hanya dilihat dari permukaan, lembaran peraturan dan perundang-undangan, seolah-olah kesepakatan nasional telah terwujud dengan terbitnya undang-undang, berdirinya lembaga, dan sebagainya. Namun, berkaca dari peristiwa-peristiwa tertentu, sangat terasa bahwa konsensus belum tercipta atau lembaga pemberantas korupsi masih merasa sendirian dan lembaga penegakan hukum yang lain belum memiliki “gairah” yang sama tingginya.
Kasus Cicak vs Buaya Jilid I, II, dan III menjadi contoh gamblang bahwa di Indonesia ada kekuasaan dan hubungan pengaruh yang tak terdefinisikan dalam bagan resmi negara. Demikian juga keluhan atas lambannya progres pembersihan sifat koruptif lembaga penegak hukum itu sendiri. Semua itu menunjukkan bahwa agenda ini belumlah “direstui” oleh elit lembaga nasional. Jika konsensus itu belum tercapai, otomatis sistem yang berjalan pun tercipta secara acak, seadanya, dan sudah pasti sistem yang buruklah yang tercipta. Seorang pakar manajemen, Stephen R. Covey mengatakan, “You can’t put good people in a bad system and expect them to succeed.”
Menariknya, justru Indonesia adalah negara yang memiliki modal musyawarah dalam menyelesaikan hal-hal pentingnya. Penyebutan musyawarah mufakat dalam unsur Pancasila, benar-benar penyimpulan yang nyata dari kehidupan sehari-hari masyarakat, tidak mengada-ada. Musyawarah, sejatinya memanglah sudah menjadi nafas dan denyut bangsa.
Lantas, sudahkah agenda sepenting pemberantasan korupsi telah menjalani proses musyawarah? Mungkin itu sudah, terbukti dengan telah terbitnya perundang-undangan terkait. Tetapi, jika sudah, bagaimana kualitas dari musyawarahnya? Di titik dan poin ini penulis meragukannya, bertolak dari kasus hambatan pemberantasan korupsi di atas.
Adapun kualitas musyawarah ditentukan faktor implementasi keketatan disiplin pemenuhan persyaratan teknisnya sendiri. Jika musyawarah yang terselenggara hanya berkualitas rendah, maka kesepakatan yang terbentuk akan bersifat asal jadi daripada tidak ada sama sekali atau jika berskala nasional, sekedar supaya terlihat baik di mata publik. Untuk itu, penulis mencoba mengetengahkan beberapa persyaratan terselenggaranya musyawarah nasional pemberantasan korupsi yang berkualitas.
Pertama, partisipasi aktif peserta. Syarat ini akan memastikan semua sudut pandang terakumulasi, setiap kepentingan tidak ada yang ditinggalkan. Jangan ada yang malu dan rendah diri.
Kedua, keterbukaan dan transparansi. Apabila kepentingan dan masalah masih tersembunyi, tidak jujur dan tidak lengkap, maka jangan kaget apabila selepas musyawarah, banyak peristiwa-peristiwa “aneh” dalam interaksi selanjutnya antar peserta.
Ketiga, kesetaraan. Para aktivis dan elit pemberantasan korupsi harus menganggap bahwa semua peserta memiliki hak berpendapat yang setara.
Keempat, komunikasi efektif. Aktivis dan elit pemberantasan korupsi, selain telah memiliki modal integritas dan semangat kebaikan, perlu mengasah skill komunikasi yang efektif. Kunci dari hal ini adalah penghormatan, kemampuan mendengar yang baik dan mampu menanggapi dengan penuh niat konstruktif. “Jika Anda berbicara dengan seseorang dalam bahasa yang dia mengerti, itu akan masuk ke kepalanya. Jika Anda berbicara dengannya dalam bahasanya, itu masuk ke hatinya.”, itulah nasihat Nelson Mandela, Pahlawan Afrika Selatan.
Kelima, konsentrasi pada kepentingan bersama yaitu memberantas korupsi. Perlu meyakinkan bahwa dalam agenda ini akan dicapai solusi yang menguntungkan semua pihak dan tidak untuk meninggikan ‘bendera’ salah satu peserta saja.
Keenam, fleksibel. Faktor ini diperlukan agar ditemukannya kompromi yang dapat secara legowo diterima seluruh peserta.
Ketujuh, kepercayaan dan rasa hormat. Kepercayaan satu sama lain bahwa niat baik pasti dimiliki semua pejabat. Tidak ada manusia terlahir jahat. Siapakah pejabat dan anak bangsa yang tidak menginginkan negeri ini menjadi bangsa yang berintegritas? Faktor ini juga akan menjaga suasana musyawarah tetap kondusif. Pramoedya Ananta Toer berkata bahwa orang-orang jahat itu tidak selalu jahat. Mereka hanya butuh dorongan yang tepat untuk menjumput cahaya dalam diri mereka.
Kedelapan, proses pengambilan keputusan yang baik. Diskusi harus dipandu oleh intelektual yang terbiasa terlatih dalam upaya-upaya rekonsiliasi, diskusi, penyaringan ide dan berbagai kegiatan pencarian kesepakatan.
Faktor terakhir adalah kesediaan untuk menerima hasil. Elemen ini merupakan penghargaan dari peserta atas upaya keras pelaksanaan faktor-faktor sebelumnya. Selain itu, keinginan untuk memberikan legacy kepada masyarakat sekaligus contoh kepada generasi penerus tentang komitmen atas kemufakatan yang disepakati.
Pada akhirnya, besar keinginan penulis agar agenda pemberantasan korupsi dapat menjadi kerja bersama. Amal semulia itu, jangan sampai menjadi monopoli beberapa kalangan saja. Semua pihak harus memiliki antusiasme dalam satu gelombang yang sama tingginya. Konflik yang tidak perlu, apalagi yang melukai dan mengorbankan anak bangsa pastilah dapat dihindari. Kemudian, apabila jalan konsensus ini dapat tercapai, selanjutnya menjadi mudahlah kita berbicara langkah selanjutnya seperti pembagian kerja, target dan hal teknis lainnya.
Destinhuru Hend Dhito