Khazanah bisa dari mana-mana. Termasuk dari kitab suci. Mari kita coba menengok apa yang tertera dalam Al-Qur’an tentang manusia: aktor tunggal pelaku korupsi di negeri ini.

Jika kita jeli, ada tiga kata berbeda yang dimaknai sebagai manusia dalam Al-Qur’an terjemahan berbahasa Indonesia yang banyak beredar di masyarakat. Tiga kata dalam bahasa Arab itu adalah basyar, insan, dan nas dengan berbagai varian kata turunannya.

Bagi yang mengimani Al-Qur’an (dan seharusnya demikian bagi mayoritas penduduk dan pejabat di Indonesia), kita bisa bercermin menggunakan kata ini untuk mengetahui posisi kita, terutama saat harus berhadapan pada sebuah situasi dan kondisi yang mengharuskan kita melakukan tindak korupsi atau tidak. Sengaja tidak saya gunakan term tindak pidana korupsi karena kita tidak sedang mendiskusikan korupsi sebagai tindak pidana yang perlu pembuktian sah dan meyakinkan di depan hakim. Namun, cukup kita bertanya pada hati nurani (kalbu bersih yang diterangi cahaya sehingga dapat melihat) apakah kita sedang bertindak koruptif atau tidak.

Yang pertama adalah basyar. Dalam mayoritas ayat yang menggunakan basyar sebagai kata penunjuk bagi manusia, kata tersebut selaras dengan makna manusia sebagai manusia biologis yang mewujud sebagai darah dan daging. Beberapa ayat di antaranya adalah Surah 18:110, Surah 41:6, Surah 3:47, Surah 33:33, dan Surah 25:7. Sederhananya, manusia yang disebut dengan basyar ini adalah manusia biasa yang juga lapar, perlu makan dan minum, berjalan ke pasar, dan perlu berhubungan seksual. Jika harus dilakukan pemeringkatan, inilah “dimensi” manusia paling rendah dibandingkan dengan “dimensi” manusia lainnya, yakni tingkatan perilaku yang juga dimiliki hewan.

Yang kedua adalah insan. Secara sederhana, konsep insan merujuk pada manusia dengan karakter psikologis dan spiritualitasnya. Di sinilah “wujud” manusia yang berbeda dengan hewan. Di dimensi inilah manusia diberikan ilmu (Surah  96:4-5), dapat membedakan baik/halal dan buruk/haram (Surah 55:3) serta merenungkan perbuatannya (Surah 79:35). Pada dimensi ini pula ilham dapat “berkomunikasi” dengan manusia untuk menuntun mana perbuatan yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari. Singkatnya bisa kita katakan bahwa manusia memiliki keterhubungan dengan informasi dari langit (Surah 41:53). Adapun akibat ”keistimewaan” ini adalah dipikulkannya amanah kepada manusia untuk memayuning hayuning buwana, khalifah di bumi untuk menjaga kelestarian dan keberlangsungan bumi tempat tinggalnya (Surah 33:72). Manusia pada dimensi ini jugalah yang dimintai pertanggungjawaban secara individu (Surah 75:36, Surah 75: 3, Surah 50:16) dan diminta mengerjakan hal-hal baik (Surah 29:8, Surah 31:14, Surah 46:15).

Di sisi lain, manusia dimensi Insan ini juga yang rentan mendapat godaan setan (Surah 17:10, Surah 59:16), memiliki kecenderungan zalim (tahu yang benar tapi tidak mau mengerjakan), kafir (terhalang untuk menerima kebenaran) (Surah 14:34, Surah 22:66, Surah 43:15), tergesa-gesa (Surah 17:11) , bodoh (Surah 33:72) , suka berdebat (Surah 18:54, Surah 14:4, 36:77), dan meragukan adanya hari kebangkitan (Surah 19:66)

Di sinilah istilah “jembatan selebar rambut dibelah tujuh”  itu mewujud. Hanya manusia atau insan dengan hati bersih dan hanif yang mendapatkan petunjuk dan bimbingan Ilahi untuk mudah “melewati jembatan” ini agar selamat sampai tujuan mempertahankan fitrahnya sebagai penghuni surga. Apabila tidak, pasti ia akan berjatuhan dan terkapar gagal di tengah jalan (atau jembatan?).

Yang ketiga adalah dimensi manusia sebagai nas yang menyadarkan kita bahwa manusia adalah makhluk sosial, bagian dari umat manusia secara kolosal. Apa yang kita lakukan berpengaruh pada manusia lainnya. Sapaan Tuhan yang memanggil manusia dengan sebutan nas seringkali dalam konteks mereka sebagai sekelompok manusia (umat) yang jika salah-salah berperilaku, satu manusia dapat menyebabkan sekumpulan manusia lain menanggung akibatnya. Contoh yang belum lama sudah ditampakkan adalah bantuan sosial yang digunakan untuk kepentingan segelintir orang harus ditanggung manusia lain yang lebih berhak tapi tidak dapat menikmatinya.

Cermin Diri

Negara ini sudah banyak memiliki regulasi antikorupsi beserta turunannya. Regulasi ini terwujud pada Undang-Undang tentang KPK (UU Nomor 19 Tahun 2019), Reformasi Birokrasi, WBK/WBBM, Zona Integritas, hingga pakta Integritas yang wajib dilakukan penyelenggara negara setiap tahun. Meski kita sadari bersama dengan direvisinya UU KPK, banyak pihak yang menganggap sebagai pintu masuk pelemahan upaya antikorupsi. Sesuatu yang jelas nyata adalah hingga detik ini kita tidak bisa berbuat apapun untuk memperbaiki kebijakan publik yang ada.

Segendang sepermainan, saat kita membahas korupsi, seringkali benak kita otomatis menunjuk orang lain. Ini wajar belaka karena acapkali wacana korupsi muncul dengan intensitas emosi tinggi saat kita menyimak berita korupsi dengan jumlah fantastis yang dilakukan orang lain. Padahal kita tidak dimintai pertanggungjawaban atas perilaku koruptif orang lain. Kita sendirilah yang dimintai pertanggungjawaban atas anasir-anasir koruptif yang bisa jadi muncul di hati dan mewujud pada perilaku.

Dua hal ini menjadikan rakyat Indonesia tampak sudah mulai putus asa dan melihat bahwa korupsi itu ada di ujung belahan dunia yang berbeda dengan kita. Padahal, masih ada satu upaya yang bisa diupayakan terus menerus untuk mengurangi praktik-praktik korupsi, yakni memastikan bahwa diri kita sendiri tidak menjadi bagiannya.

Memahami pelaku sampai pada perilaku koruptif memang kompleks. Agar kita lebih mudah memahami, mari kita gunakan GONE Theory yang  sudah popular dikemukakan oleh Jack Bologne sebagai pisau analisis. Perilaku korupsi terjadi karena gabungan kondisi greed (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (keinginan), expose (pengungkapan atau lebih mudah dipahami sebagai hukuman konkret atas pelaku koruptif). Keempat faktor itu bisa kita kendalikan jika kita bertanggung jawab atas diri kita masing-masing.

Serakah adalah perbuatan manusia level basyar. Perilaku ini sejatinya tidak ada bedanya dengan perilaku hewan. Kesadaran diri bahwa kita adalah manusia dan bukan hewan dapat mempertebal rasa malu kita melakukan perbuatan-perbuatan hewani. Serakah adalah mengambil sesuatu yang bukan hak kita dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki. Serakah muncul karena terkikisnya rasa syukur dalam hati. Tak syukur berarti kufur. Orang yang kufur memang tidak sadar bahwa ia akan menerima balasan yang levelnya terperih (Surah 14:7).

Faktor Internal lain yang bisa kita kendalikan secara otonom adalah need (keinginan). Manusia yang sadar akan dimensinya sebagai insan akan berusaha sekuat tenaga meniti “jembatan sirathal mustaqim” agar keinginan-keinginannya selaras dengan kebaikan. Di sini memang diperlukan upaya keras individu untuk mengendalikan keinginannya. Caranya adalah dengan menyadari bahwa setiap keinginan yang kita wujudkan, Tuhan akan membalasnya dengan setimpal (Surah 99:7-8).

Keinginan baik yang mewujud akan dibalas kenikmatan sejati. Keinginan buruk yang mewujud akan dibalas dengan kengerian yang tidak pernah kita bayangkan. Balasannya pasti bukan sekarang. Balasannya adalah di masa depan (akhirat) dan masa depan itu tidak perlu menunggu nanti-nanti yang jaraknya masih lama (sebagaimana kita bayangkan). Sedetik setelah masa sekarang adalah masa depan! Kesadaran atas balasan yang pedih dan pasti di masa depan (akhirat) ini cukup untuk ‘menutupi’ regulasi exposure (pengungkapan/hukuman) di negara ini yang memang kurang membuat orang jera.

Dengan pengendalian internal diri yang baik (rasa serakah dan rasa ingin yang buruk), opportunity yang mampir di depan mata kita menjadi relatif mudah kita abaikan.

Perkara adanya kesempatan korupsi yang muncul memang masalah sistematis yang penyelesaiannya tidak bisa sehari dua hari. Segala upaya penggiat antikorupsi sudah berusaha hingga detik ini. Dan kenyataan detik ini juga menyatakan bahwa opportunity korupsi itu menganga lebar di depan kita setiap hari!

Pada akhirnya, dimensi insani kitalah yang perlu dilatih untuk berusaha keras sepenuh hati (jihad) meniti jalan (suluk) agar selalu selaras dalam bimbingan Ilahi. Kondisi ini dapat digunakan menunggangi dimensi basyar menempuh jalan harmoni dengan alam semesta (sunnatullah) untuk mewujudkan dimensi nas di tengah manusia yang lain. Kumpulan manusia yang harus saling menjaga, tidak menyakiti, dan tidak menggunting dalam lipatan antar sesamanya.

Kalau kita masih kesulitan mencerna semua ini, maka tidak heran besok-besok kita jadi bagian yang menggunakan uang pajak rakyat untuk nyawer biduan, membeli skincare anak, bahkan untuk pergi umrah dan membangun masjid demi berkamuflase pada lingkungan sosial untuk menutupi dimensi basyar hewani kita.

Na’udzubillah.