Pendahuluan:
Indikator EoDB menunjukkan bahwa produk hukum di Indonesia membuat dunia usaha kesulitan (bahkan ketakutan?)
Mari kita mulai dengan melihat salah satu indikator yang memberikan gambaran bagaimana persepsi dunia terhadap suatu negara, yaitu ranking ease of doing business (EoDB). Indonesia saat ini mendapatkan ranking 73/190. Sebagai perbandingan, di kawasan Asia Tenggara kita jauh di bawah Singapura (2/190) dan Malaysia (12/190).[1] Perbandingan lain, dalam klasifikasi lower middle income country kita masih kalah dengan Kenya (56/190).[2]
Tanpa berniat menjatuhkan negara tercinta, mari kita menggali lebih dalam menuju kegelapan yang lebih sempurna. Kita jadikan 73 sebagai standar untuk melihat mana saja indikator dari EoDB yang rankingnya di bawah 73 untuk melihat apa yang perlu kita perbaiki. Ditemukan ada 6 dari 10 indikator yang menjadi masalah utama (diurutkan dari ranking terendah):[3]
- starting a business (140), indikator yang meliputi prosedur yang harus dihadapi dan cost yang harus dikeluarkan ketika akan membuka bisnis baru;
- enforcing contract (139), indikator tentang kepastian hukum dalam berkontrak/melaksanakan perikatan di Indonesia;
- trading across border (116), indikator terkait kepabeanan;
- dealing with construction permit (110), indikator yang menggambarkan prosedur perizinan pembangunan;
- registering property (106), indikator ini terkait prosedur pendaftaran tanah dan bangunan; dan
- paying taxes (81), tentu saja ini indikator terkait perpajakan;
Kabar baiknya, kita masih cukup bagus dalam indikator getting electricity (33), protecting minority investor (37), resolving insolvency (38), dan getting credit (48). Perlu dipahami bahwa skoring yang melahirkan ranking EoDB menunjukkan bagaimana kualitas produk hukum di sebuah negara, baik regulasi, kebijakan, sampai dengan putusan pengadilan di sebuah negara.[4] Oleh karena itu, tanpa perlu mencari recent events di negara tercinta kita, di titik ini kita bisa menarik kesimpulan sementara bahwa berdasarkan indikator pada EoDB di atas, kualitas produk hukum kita masih memprihatinkan.
Penerapan asas hukum paling populer sebagai contoh kasus penggunaan logika matematis dalam argumentasi hukum
Selanjutnya, saya ingin memberi contoh bagaimana penerapan logika yang benar dapat menyelematkan kita dari kekacauan pembentukan produk hukum. Salah satu teori hukum yang paling populer di kalangan umum adalah asas preferensi yang terdiri dari tiga aksioma berikut:
- Lex superior derogat legi inferiori, norma yang lebih tinggi mengalahkan norma yang lebih rendah.
- Lex specialis derogat legi generali, norma yang lebih khusus mengalahkan norma yang lebih umum.
- Lex posterior derogat legi priori, norma yang lebih baru mengalahkan norma yang lebih lama.
Sederhana ya sebenarnya? Intinya yang pertama mengalahkan yang kedua: tinggi-rendah, khusus-umum, baru-lama. Di titik mana ada kemungkinan terjadi kekacauan logikanya? Mari ambil contoh yang telah menjadi putusan Mahkamah Konstitusi.
Norma pertama datang dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat (Pasal 1 ayat (2)) dan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A). Sementara itu, norma kedua datang dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara (salah satunya) adalah d. penduduk yang memiliki hak pilih (Pasal 348 ayat (1)) dan penduduk sesuai huruf d tersebut dapat memilih di TPS/TPSLN dengan menggunakan kartu tanda penduduk elektronik. Rumit bukan kalau ditulis lengkap begini?
Baik, sederhananya UUD 1945 menyatakan semua rakyat memiliki hak pilih dan dapat memilih, sementara UU Pemilu menyatakan bahwa untuk memilih harus menggunakan kartu tanda penduduk elektronik. Terlihat ada tambahan syarat yang membatasi hak pilih rakyat dari undang-undang dasar. Bagaimana jika kita terapkan tiga aksioma di atas di kasus ini? Supaya lebih mudah, berikut saya buatkan matriksnya.
Asas | UUD | UU Pemilu |
lex superior (tinggi-rendah) | lebih tinggi | lebih rendah |
lex specialis (khusus-umum) | lebih umum | lebih khusus |
lex posterior (baru-lama) | lebih lama | lebih baru |
Berdasarkan matriks di atas, jika diterapkan secara serampangan maka akan muncul kebingungan mana norma yang harus dimenangkan. UUD memang lebih tinggi, tetapi UU Pemilu lebih khusus dan lebih baru, apakah artinya UU Pemilu dimenangkan dengan skor 2-1? Di titik inilah kekacauannya jika asas-asas tersebut diterapkan tanpa panduan penggunaan logika. Menariknya, beberapa ahli hukum telah merumuskan model logika matematika sebagai panduan penerapan asas-asas tersebut. Nurfaqih Irfani dalam publikasinya berjudul Asas Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika, dan Penggunaannya dalam Penalaran dan Argumentasi Hukum mengetengahkan formulasi Giovanni Sartor dan Andrzej Malec.[5]
Pertama, formulasi dari Giovanni Sartor adalah sebagai berikut:
Untuk menyesuaikan dengan pembahasan sebelumnya, perlu dipahami bahwa notasi SR (source criterion) merujuk pada relasi tinggi-rendah, notasi SP (speciality criterion) merujuk pada relasi khusus-umum, dan notasi T (chronological/time criterion) merujuk pada relasi baru-lama. Dengan begitu, formulasi di atas dapat dibaca sebagai berikut:
- Apabila norma 1 lebih rendah dari norma 2, maka norma 2 yang menang tanpa melihat kriteria lain.
- Apabila norma 1 lebih umum daripada norma 2, maka norma 2 menang dengan ketentuan norma 1 dan norma 2 tidak ada yang lebih tinggi, tanpa perlu melihat kriteria kronologis (baru-lama).
- Apabila norma 1 lebih lama daripada norma 2, maka norma 2 menang dengan ketentuan bahwa keduanya setara baik dari sisi kriteria tinggi-rendah maupun umum khusus.
Formulasi kedua dari Andrzej Malec adalah sebagai berikut:
Notasi dari Malec cukup mudah dibaca karena membuat notasi yang sesuai dengan bahasa asli asas preferensi (Sup-superior, Spec-specialist, dan Post-posterior). Oleh karena itu, kita dapat langsung menuju cara membacanya sebagai berikut:
Rule 1: apabila norma x lebih tinggi dari norma y dan oleh karena itu kedua norma tersebut tidak setara, maka norma x mengalahkan norma y.
Rule 2: apabila norma x dan norma y setara, namun norma x lebih khusus daripada norma y, maka norma x mengalahkan norma y.
Rule 3: apabila norma x dan norma y setara kedudukannya juga setara kekhususannya, namun norma x lebih baru daripada norma y, maka norma x mengalahkan norma y.
Kedua formula di atas, jika diterapkan pada kasus norma UU Pemilu vs UUD 1945 sebelumnya, maka akan jelas bahwa kita hanya perlu menggunakan rule pertama karena jelas bahwa UUD 1945 di atas UU Pemilu. Titik. Tidak perlu melihat rule atau kriteria yang lain. Putusan Mahkamah Konstitusi pun untuk kasus di atas selaras dengan formulasi ini dan menyatakan bahwa seseorang tetap memiliki hak untuk memilih selama dapat membuktikan dirinya adalah rakyat Indonesia, tidak terbatas pada pembuktian dengan KTP Elektronik.
Jalan panjang menuju formulasi logika matematis dalam argumentasi hukum
Dengan adanya formulasi-formulasi seperti yang telah dijabarkan, terlihat ada standarisasi dalam argumentasi hukum, tidak acak lagi dan tidak bergantung lagi pada the loudest man in the room. Harapannya, semakin banyak formulasi-formulasi matematis yang dapat membuktikan bahwa dalam dunia hukum yang selama ini carut-marut, masih ada celah penyelamat yaitu menggunakan logika dasar matematis yang berlaku umum. Kepastian hukum dan keadilan dapat menemukan titik keseimbangannya. Kembali ke pemacu awal tulisan ini: semoga persepsi dunia terhadap kondisi hukum di Indonesia semakin baik dan pada akhirnya membawa kesejahteraan ekonomi bersama. Perjalanan ini pasti panjang. Tulisan ini hanya sebuah proposal awal. Masih bisa didiskusikan. Masih bisa ditarik. Tentu juga masih bisa ditolak. Mari lewati proses diskusinya. Tabik.
[1] https://archive.doingbusiness.org/en/rankings?region=east-asia-and-pacific
[2] https://archive.doingbusiness.org/en/rankings?incomeGroup=lower-middle-income
[3] https://archive.doingbusiness.org/en/data/doing-business-score
[4] The ease of doing business score shows an economy’s absolute position relative to the best regulatory performance, whereas the ease of doing business ranking is an indication of an economy’s position relative to that of other economies, https://documents1.worldbank.org/curated/en/688761571934946384/pdf/Doing-Business-2020-Comparing-Business-Regulation-in-190-Economies.pdf.
[5] https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/711
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Penulis buku Membongkar Warisan Kolonial di Bidang Hukum Keuangan Negara.