“Reformasi is history. The term reformasi is still used today, although the spirit of radical reform that drove democratisation is now distant.. This reflects deep uncertainty among Indonesians about recent social and political change and where their country is heading.
Rampant corruption is perhaps Indonesia’s single biggest political issue.” — Prof. Tim Lindsey
Reformasi 1998 merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Dia menandai berakhirnya kekuasaan rezim Orde Baru selama 32 tahun dan membawa Indonesia masuk ke periode demokrasi yang sebenarnya. Sebagai sebuah bentangan masa depan, pintu masuk era Reformasi dibuka oleh desakan demonstrasi yang luar biasa massif, serta diiringi tragedi gugurnya mahasiswa dan melandanya kerusuhan massa. Meski tragis dan berdarah-darah, Era Reformasi adalah janji baru untuk esok Indonesia yang jauh lebih baik—sehingga patut untuk diwujudkan, dipertahankan, dan diperjuangkan oleh generasi berikutnya.

Namun setelah 25 tahun, tidak semua agenda reformasi dinilai berbagai kalangan telah tuntas. Indonesia masih menghadapi problem faktual di beberapa indikator. Di masa demokratisasi ini, Indeks demokrasi Indonesia menurut data EIU sampai saat ini masih tergolong cacat dengan tren yang cenderung menurun. Data Freedom House juga demikian. Indeks Negara Hukum Indonesia menurut World Justice Project di angka 0,53 pada 2023 dari skala 0-1 dan cenderung stagnan sedekade terakhir. Menurut IAP2, Indonesia saat ini masih darurat partisipasi publik yang berkualitas. Beberapa kebijakan penting dinilai mengabaikan partisipasi publik. Skor Corruption Perception Index Indonesia yang mengalami tren kenaikan sejak memasuki Era Reformasi, anjlok di 2020 setahun pascarevisi UU KPK dan masih bergerak turun di 2022 dan 2023. Menurut Prof. Tim LIndsey, pakar hukum Indonesia dari University of Melbourne, korupsi barangkali menjadi isu politik terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini.1

Belum tuntasnya agenda reformasi setelah seperempat abad berlalu, mengindikasikan adanya pendekatan, strategi, atau cara-cara kita memperbaiki negeri yang relevansinya perlu kita tengok kembali. Hal tersebut menyibak kebutuhan akan kontemplasi, elaborasi pemikiran baru, dialog-dialog dan kerja sama, hingga mengendapkan sekumpulan aksioma reformasi yang lebih manjur. Kita perlu menghidupkan kembali dinamika intelektual, mengeksplorasi ide inovasi perbaikan, dan menggandeng sebanyak mungkin tangan-tangan untuk berkolaborasi. Dengan berfokus mengkaji dan berkolaborasi pada bidang innovative policy dan antikorupsi, serta berharap akan terendapnya aksioma-aksioma baru tentang perbaikan kemudian, Indonesia Reform Project berdiri.
- Diolah dari berbagai sumber. Pernyataan Lindsey diperoleh dari: https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/post-reformasi-indonesia-the-age-of-uncertainty/ ↩︎