Saat ini, sekolah kedinasan atau perguruan tinggi kedinasan dikenal sebagai pabrik pencetak aparatur sipil negara (ASN) yang mumpuni dalam aspek teknis. Namun, di balik gemerlap prestasi tersebut, ada kekhawatiran yang semakin membayangi. Apakah lulusan sekolah kedinasan masih relevan di tengah perubahan zaman yang begitu cepat? Sementara lulusan universitas memperoleh ilmu yang lebih komprehensif dan mendalam, sekolah kedinasan tampak masih berkutat pada pendekatan lama yang terlalu teknis. Jika tak ada inovasi atau perubahan signifikan, bukan tidak mungkin lulusan sekolah kedinasan akan kalah saing dan tertinggal.

Perbaikan sistem pendidikan di sekolah kedinasan memang telah menunjukkan kemajuan signifikan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi oleh Kementerian Lain dan Lembaga Pemerintah Nonkementerian (PTKL). Aturan ini menjadi tonggak penting dalam upaya pemerintah untuk melakukan standardisasi di seluruh sekolah kedinasan, memastikan bahwa kurikulum yang diajarkan sesuai dengan kebutuhan spesifik instansi terkait. Dengan adanya peraturan ini, keilmuan yang diberikan di sekolah kedinasan menjadi lebih terarah dan relevan, mengacu pada kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan oleh instansi tempat para lulusan akan bekerja. Ini adalah langkah awal yang penting dalam upaya menciptakan ASN yang lebih kompeten dan siap pakai.

Namun, dalam jangka panjang, upaya standardisasi dan penyesuaian keilmuan saja tidak akan cukup untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam birokrasi. Sekolah kedinasan perlu menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar keunggulan teknis, harus memiliki keunikan dan ciri khas tertentu yang memungkinkan lulusannya untuk menjadi solusi dari berbagai permasalahan birokrasi yang ada di Indonesia.

Paradigma Pertama: Anti Korupsi

“Kebiasaan buruk dimulai dari hal-hal kecil.” Begitu pula dengan korupsi, bisa merajalela jika tidak dihentikan sejak dini. Korupsi adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh birokrasi Indonesia, dan dampaknya sangat merugikan, mulai dari memperlambat pembangunan hingga menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sekolah kedinasan, sebagai lembaga pendidikan yang langsung terkait dengan pembentukan kompetensi ASN, memiliki tanggung jawab besar dalam membekali mahasiswanya dengan pendidikan anti korupsi. Ironisnya, mata kuliah anti korupsi belum menjadi mandatory di seluruh sekolah kedinasan. Hanya beberapa sekolah kedinasan yang memasukkan mata kuliah ini dalam kurikulumnya, sedangkan lainnya, masih dalam bentuk seminar atau kegiatan tematik.

Paradigma baru dengan memasukkan mata kuliah anti korupsi sebagai bagian wajib dalam kurikulum adalah hal yang positif. Dengan adanya mata kuliah ini, sekolah kedinasan dapat berperan aktif dalam mencegah terbentuknya perilaku koruptif yang sering kali dimulai dari hal-hal kecil. Selain itu, lulusan sekolah kedinasan yang telah dibekali dengan pemahaman kuat mengenai anti korupsi akan lebih siap menghadapi situasi rentan korupsi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, seperti dalam pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan pengelolaan anggaran. Lebih jauh, langkah ini juga akan memperkuat kualitas lulusan sekolah kedinasan, memperbaiki citra birokrasi, dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dengan demikian, menjadikan mata kuliah anti korupsi sebagai mandatory di sekolah kedinasan bukan hanya sebuah kebutuhan, tetapi juga sebuah langkah strategis untuk menciptakan ASN yang berintegritas tinggi dan siap memimpin perubahan di masa depan.

Paradigma Kedua: Kepemimpinan

Di tengah tuntutan dunia yang semakin kompleks dan dinamis, kepemimpinan tidak lagi menjadi pilihan, melainkan sebuah kebutuhan yang mendesak. Sekolah kedinasan selama ini mungkin telah berhasil mencetak lulusan yang siap bekerja sebagai ASN dengan kompetensi teknis yang mumpuni. Namun, birokrasi membutuhkan lebih dari sekadar pelaksana tugas; butuh pemimpin yang visioner, yang mampu melihat ke depan, membaca situasi dengan tajam, dan membawa perubahan positif yang berkelanjutan.

Beberapa sekolah kedinasan telah menyadari pentingnya kepemimpinan dan mulai memasukkannya dalam kurikulum, baik sebagai mata kuliah maupun sebagai bagian dari komponen karakter. Bahkan, ada sekolah kedinasan telah mengintegrasikan konsep leader factory, dengan fokus utamanya adalah mencetak pemimpin-pemimpin masa depan yang memiliki kualitas unggul dalam berbagai aspek. Ini adalah langkah yang sangat positif dan menunjukkan bahwa ada kesadaran akan pentingnya kepemimpinan dalam menghadapi tantangan birokrasi masa depan. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi adalah penilaian dan pengukuran output dari pendidikan kepemimpinan ini. Saat ini, penilaian dan evaluasi terhadap kemampuan kepemimpinan lulusan sekolah kedinasan masih belum mampu terukur dengan baik, sehingga sulit untuk memastikan apakah lulusan tersebut benar-benar siap menjadi pemimpin.

Untuk mengatasi masalah ini, sekolah kedinasan seharusnya mengacu pada tiga kompetensi utama ASN sebagai assessment awal untuk mengukur derajat kepemimpinan lulusannya. Tiga kompetensi ini mencakup kompetensi teknis, kompetensi sosial-kultural, dan kompetensi manajerial. Assessment tersebut dilakukan secara komprehensif melalui kompetensi teknis berdasarkan capaian akademik, kompetensi sosial-kultural berdasarkan capaian karakter, dan kompetensi manajerial berdasarkan penilaian terhadap kemampuan managing others dalam lingkup kampus seperti organisasi mahasiswa. Dengan mengintegrasikan penilaian terhadap ketiga kompetensi ini, sekolah kedinasan dapat memastikan lulusannya tidak hanya siap bekerja tetapi juga memiliki konsep kepemimpinan yang kuat dan dapat diterapkan dalam lingkungan kerja. Paradigma baru ini adalah langkah strategis yang diperlukan untuk menciptakan generasi pemimpin yang mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik di masa depan.

Untuk menghadapi tantangan masa depan, sekolah kedinasan harus keluar dari zona nyamannya. Tidak cukup lagi hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi juga harus mengedepankan pendidikan anti korupsi dan kepemimpinan. Dengan mengadopsi paradigma baru, sekolah kedinasan dapat menjadi motor penggerak transformasi bangsa, melahirkan generasi ASN yang tidak hanya siap bekerja, tetapi juga siap memimpin perubahan. Inilah saatnya bagi sekolah kedinasan untuk melangkah lebih jauh, masa depan Indonesia bergantung pada mereka yang berani mengambil langkah maju, dan sekolah kedinasan adalah tempat di mana langkah itu dimulai.