Pemberantasan korupsi ditujukan salah satunya untuk memberikan efek jera sehingga korupsi tidak terulang lagi. Penangkapan dan pidana penjara dinilai masih belum mampu membuat koruptor jera. Hal ini di antaranya disebabkan oleh ringannya hukuman yang diberikan oleh hakim, tingginya risiko suap fasilitas penjara, serta kalkulasi untung-rugi atas tindakan korupsi yang cenderung masih menguntungkan koruptor sebagaimana teori Controlling Corruption oleh Robert Klitgaard (1988). Pemberian efek jera dapat dilakukan dengan salah satunya optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara. Kerugian keuangan negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara). Salah satu tantangan optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara saat ini justru berada pada sisi kewenangan, yaitu bahwa terdapat beberapa kasus tipikor yang di-challenge terkait kewenangan penentuan kerugian keuangan negara.

Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan serta peraturan/putusan yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, di antaranya sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23E bahwa BPK merupakan pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
  2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 10 Ayat (1) bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga/badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
  3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 32 Ayat (1) dengan frasa “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” berikut penjelasannya, yaitu bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
  4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 6 Huruf (b) bahwa KPK bertugas melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik.
  5. Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2023 pada Pasal 3 Huruf (e) bahwa BPKP memiliki fungsi antara lain melakukan audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi.
  6. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 bahwa KPK bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu. Bahkan pembuktian tersebut dapat berasal dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya.
  7. Surat Edaran MA (SEMA) No.4 Tahun 2016 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara. Namun, tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, dapat diketahui bahwa deklarasi kerugian keuangan negara hanya dapat dilakukan oleh BPK. Meski begitu, BPKP dan KPK tetap memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan negara. Pun demikian juga untuk pihak-pihak lain—termasuk hakim itu sendiri—bila dianggap perlu dan disetujui oleh hakim untuk menghitung kerugian keuangan negara. Dalam hal ini, SEMA juga menyatakan bahwa hakim dapat menilai besarnya kerugian negara sehingga tetap dapat menggunakan perhitungan dari pihak yang berkompeten sebagai penguat keyakinan hakim. Hal ini juga sejalan dengan ketua MA saat itu (periode 2012—2017) Muhammad Hatta Ali bahwa SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tidak selamanya mengikat hakim. Siapapun yang memeriksa kerugian negara, baik BPK maupun BPKP, tidak harus diikuti hakim. Demikian pula dengan ahli, jika ada ahli yang berpendapat tidak ada kerugian negara, hakim juga tidak berkewajiban untuk mengikuti. Ketua MA tersebut juga berpendapat bahwa hakim dapat berpendapat sendiri karena penerapan SEMA tidak harus sama persis dengan rumusan SEMA, tetapi perlu ditinjau secara kasuistis atau kasus per kasus.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa deklarasi kerugian keuangan negara hanya dapat dilakukan oleh BPK, sementara penghitungan kerugian keuangan negara dapat dilakukan oleh BPK dan pihak-pihak selain BPK sepanjang dianggap perlu dan disetujui oleh hakim. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi penghitungan kerugian keuangan negara sebagai salah satu upaya optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara atas tindak pidana korupsi.

Referensi:

  1. https://media.neliti.com/media/publications/301024-kewenangan-penghitungan-kerugian-keuanga-bca26f71.pdf
  2. https://riau.bpk.go.id/wp-content/uploads/2020/03/2.-Kewenangan-penghitungan-kerugian-negara-edit.pdf
  3. https://antikorupsi.org/id/article/efektivitas-penjara-khusus-koruptor
  4. https://www.hukumonline.com/klinik/a/pihak-yang-berwenang-menilai-kerugian-negara-dalam-kasus-korupsi-lt57d7ba0cd90bb/
  5. https://www.hukumonline.com/berita/a/siapa-berhak-menetapkan-kerugian-negara-di-kasus-tipikor-ini-penjelasan-hukumnya-lt61bb7b4ad897c/
  6. https://www.hukumonline.com/berita/a/siapa-berwenang-menyatakan-kerugian-negara-sema-pun-tak-mengikat-lt58ac1253a9228/?page=all

Penulis:
Steven Ferico, Alumnus Diploma Keuangan Negara STAN. Penulis jurnal terindeks Copernicus: Peran Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi.