Berbicara mengenai teori korupsi dan strategi antikorupsi modern, rasanya sulit bagi kita untuk berpaling dari nama Robert Klitgaard, seorang profesor dari Harvard University. Melalui karyanya yang prestisius di tahun 1988, Controlling Corruption, Klitgaard menawarkan ramuan pemberantasan korupsi bagi dunia, khususnya mengenalkan formula korupsi yang kemudian menjadi banyak rujukan hingga saat ini.1 Artikel ini mengajak sidang pembaca untuk melihat kembali garis besar gagasan Klitgaard tersebut, khususnya mengenai teori korupsi, dan dinamika intelektual yang menyorotinya.
Dalam mendeskripsikan korupsi, Klitgaard menggunakan metafora ekonomi dan cenderung mengesampingkan aspek etika dan agama. Seseorang melakukan korupsi, menurut Klitgaard, setelah melakukan pertimbangan antara manfaat yang bisa didapatkan dengan biaya pribadi yang mungkin timbul. Apabila manfaat korupsi dihitung lebih besar dari biaya kerugian, seseorang itu akan memilih untuk berbuat korupsi. Demikian sebaliknya.
Ilustrasinya begini. Jika seorang pegawai negeri tidak melakukan korupsi, maka ia akan mendapatkan gaji sesuai ketentuan dan kepuasan moral karena tidak menjadi koruptor. Seandainya dia melakukan korupsi, maka ia akan mendapatkan uang hasil korupsi (katakanlah suap) tetapi harus “membayar” kerugian moral. Ada pula kemungkinan dia akan tertangkap dan dihukum yang mungkin berakibat sampai pada hilangnya pekerjaan. Jadi, pegawai tersebut akan melakukan korupsi jika uang suap yang diterima dikurangi biaya moral dikurangi kemungkinan tertangkap dikalikan dengan hukuman akibat tindakan koruptif tersebut lebih besar daripada gaji resmi ditambah dengan kepuasan moral. Analogi yang sama juga berlaku dari sisi klien yang memberikan suap. Inilah metafora ekonomi yang digunakan Klitgaard.
Lebih lanjut, dengan metafora tersebut, Klitgaard merumuskan korupsi sebagai perilaku manakala pegawai-pegawai memiliki: (1) kekuasaan monopolistis terhadap klien (katakanlah wajib pajak, pengguna jasa, atau warga masyarakat); (2) kewenangan bertindak yang leluasa (diskresi); serta (3) pertanggung jawaban pegawai terhadap atasan lemah. Rumusan ini tertuang dalam persamaan:
Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability
Klitgaard merumuskan metafora tersebut dalam konteks relasi antara Principal-Agents-Clients. Maksud praktis dari metafora tersebut adalah bahwa kemungkinan manfaat dan biaya pegawai (selaku Agent) tersebut dapat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah (atasan pegawai/Principal) dan manajemen (atasan Client). Klitgaard sengaja mendorong relasi ini agar memungkinkan para pembuat kebijakan di negara-negara berkembang untuk menghadapi problem korupsi tanpa harus terjebak dalam moralisme dan sensitivitas setempat. Itu mengapa, metafora ini dikatakan cenderung mengesampingkan aspek etika dan agama tadi. Klitgaard menitikberatkan bahwa korupsi merupakan masalah yang utamanya harus dianalisis dengan alat-alat kebijakan pemerintah dan manajemen.
Dalam tesisnya, Klitgaard menggarisbawahi bahwa korupsi adalah permasalahan sistem. Untuk memberantasnya, dimulai dengan mendesain sistem yang lebih baik. Monopoli harus dikurangi atau benar-benar diatur dengan baik. Diskresi harus dijernihkan, mana yang legal dan mana yang sebaliknya. Akuntabilitas harus diperbesar dengan kemungkinan untuk koruptor ditangkap harus ditingkatkan.2
Dianggap sebagai Konsep yang Misleading
Sebagai sebuah formula yang barangkali paling banyak dipakai di dunia, gagasan Klitgaard bukan tanpa kritik. Matthew Stephenson, Profesor Harvard Law School, menyatakan bahwa konsep korupsi Klitgaard telah basi dan dapat menyesatkan.3
Dalam formula Klitgaard, korupsi akan bertambah dengan adanya monopoli kekuasaan, sehingga desentralisasi dan privatisasi dapat mengurangi korupsi. Korupsi juga akan meningkat dengan adanya diskresi, maka pembatasan ruang kewenangan yang ketat akan mengurangi korupsi. Terakhir, korupsi akan berkurang saat akuntabilitas tinggi, sehingga lebih banyak pengawasan akan mengurangi korupsi.
Menurut Stephenson, penghapusan monopoli dan menggantikannya dengan kompetisi tidak serta merta menghilangkan korupsi. Bahkan dalam situasi tertentu justru dapat meningkatkannya. Dengan adanya desentralisasi kewenangan pejabat publik, misalnya dibagi berdasarkan yurisdiksi, justru menyediakan pilihan bagi klien untuk memilih pejabat mana yang bisa disuap. Persaingan birokrat antar yurisdiksi dapat menyebabkan mereka berlomba untuk memberikan penawaran yang paling menarik bagi koruptor.
Di komponen diskresi, Stephenson menilai bahwa pejabat pemerintah yang memiliki kewenangan formal yang terlalu sempit justru akan cenderung melanggar aturan-aturan yang dianggap tidak efisien dan bertentangan dengan norma sosial yang berlaku. Menekankan batasan yang kaku terhadap diskresi dapat mengakibatkan pengambilan keputusan lebih buruk oleh pejabat pemerintah. Diskresi, justru memiliki manfaat penting yaitu memungkinkan pejabat pemerintah untuk menyesuaikan keputusan mereka dalam situasi tertentu.
Kemudian, Stephenson memang setuju bahwa lebih banyak akuntabilitas dapat mengurangi korupsi. Namun, dalam keadaan tertentu, terlalu banyak akuntabilitas atau adanya jenis akuntabilitas yang keliru, justru dapat menambah korupsi. Pertama, pejabat yang bertanggung jawab karena ditekan untuk bisa akuntabel dalam jangka pendek, malah terpicu untuk melakukan korupsi dalam jangka panjang (misalnya pendanaan kampanye terlarang). Kedua, pejabat yang berada dalam pengawasan ekstraketat, yang sewaktu-waktu dapat dipecat karena sebuah keadaan yang belum tentu akibat perbuatannya, justru akan terdorong untuk menimbun korupsi sebanyak mungkin selagi masih menjabat (toh eksistensi dirinya di jabatan tersebut sangat rentan). Ketiga, akuntabilitas ke atasan dapat mendorong lokus korupsi bergeser ke atas. Apalagi jika atasan birokrat itu adalah politisi yang bisa saja justru lebih koruptif dari jajaran birokrasi di bawahnya. Tesis ini sejalan dengan evolusi korupsi transisional dari fase konvensional ke modern di negara demokrasi. Salah satu tanda pada tahap transisi ini adalah adanya eskalasi suap ke pejabat di struktur yang lebih tinggi.4
Klitgaard sendiri menanggapi kritikan Stephenson dengan menekankan bahwa formula yang ia rumuskan merupakan paradigma baru dalam memandang korupsi di tengah pekatnya penilaian korupsi dalam konteks budaya dan perbuatan amoral. Dengan adanya metafora ekonomi yang ia tawarkan, pembuat kebijakan dan masyarakat dapat membingkai ulang korupsi dan terbuka terhadap pemecahan masalah terhadapnya secara kreatif tanpa harus repot mempertimbangkan faktor kultur atau moralitas.
- Klitgaard, Robert. Controlling Corruption. 1988. The Regent of the University of California. ↩︎
- _____. International Cooperation against Corruption dalam Finance & Development. 1998. International Monetary Fund. ↩︎
- Stephenson, Matthew. Klitgaard’s Misleading Corruption Formula. May 27 2014. The Global Anticorruption Blog. ↩︎
- Pranoto, Darmawan Sigit. Korupsi yang Berevolusi dalam Koran Sindo. 17 Desember 2022. ↩︎
Sumber ilustrasi: https://www.undp.org/sites/g/files/zskgke326/files/migration/latinamerica/UNDP-RBLAC-Corruption.jpg

Lulusan S2 Analisis Kebijakan Publik UI dan Diploma Keuangan Negara STAN ini telah berkarier di bidang fiskal dan investigasi kejahatan keuangan selama dua dekade. Mantan Ketua Umum Badan Legislatif Mahasiswa STAN dan Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana FIA UI ini telah menulis beberapa buku yang di antaranya telah dikoleksi oleh National Library of Australia.
Mantappp kang,semoga Alloh SWT
Menyatukan kita dalam satu ruangan klak di kemudian hari di dunia mau pun akhirat,,,amin yrb
Semangat..jaga kesehatan